Suaramantra

Suaramantra

The work of Mantra emerges from a point of anxiety. Anxiety about the state of the modern music industry which demands artists compromise their ideals to cater to market tastes. Anxiety about the effect of modern styles which marginalise the traditional pentatonic structure. Anxiety about the younger generation losing their cultural knowledge of musical structures and instruments, rejecting them as outdated or irrelevant.However, since 2004, this phenomenon has inspired ‘Suaramantra’ (The Voice of Mantra) to channel the anxiety into something positive, something unique, in which the traditional and contemporary can co-exist. A place where music is more than a physical form or historical discourse, but a living element in the creative lives of the modern descendents of ancestor heritage.

With a background in visual art, Mantra experiences musical tones with a similar resonance and vibration as the tones of colour. In Suaramantra, the notes themselves possess colour and character.

Tone is a visual language and, when the audience listens, closes their eyes and opens their spirits to the strains of Suaramantra’s  compositions, a world of sensory imagination comes into being. The mind wanders new landscapes, unique to each listener, where the sound is as clear as water flowing but where the ripples created by personal filters give new texture every time.

Suaramantra’s album “Charm” is a means of healing. The energy of this recording comes not only from the compositions, but through the processes and experiences of the musicians involved. Mantra guides the group from behind his drums and synthesizer and is joined on lead vocals by the mesmirising femininity of Omnick. Surradipa’s solid bass guitar supports the roar of Brajah Krishna on lead. The rhythm section is underpinned by Putu Gender and his collaborators, the Degoh drummers.

Together, these musicians meld traditional instrumentation and composition with modern elements which could be considered radical by even the youngest of listeners. The aim is to create music to stimulate contemplation, and a love and appreciation of the traditional cultural values which inform current developments.

The old need not be discarded and forgotten. As Suaramantra demonstrates, it can feed and educate our new ways, just as parents provide the nourishment for their children’s growth.  Life is a perpetual process. When young, we may reject the ways of the past but, with maturity we learn to appreciate its gifts and draw upon their strengths and wisdom.

A proverb states:  To learn music, you must follow the rules. To create music, you must break the rules. Suaramantra’s album “Charm” is a living embodiment of this wisdom. Since 2004, the group has produced two independent recordings, each developing this synthesis of the old and new, the cultural and personal, the exquisitely complex and beautifully simple.

A baby wandered in the immortal mind, the breath of life bore it to the Earth, now a timeless light burns in time and space with love for all that was, is and will be.

 

(Translated by : Paula Gallagher)
———–

Berawal dari sebuah kegelisahan melihat fenomena industry music yang ada di sekitar Mantra, ketika tataran idealisme harus berkompromi dengan selera pasar, membuat perkembangan dunia music Indonesia menjadi stagnan. Terlebih ketika melihat nada-nada pentatonic tradisional yang mulai terpinggirkan di telinga para generasi muda, seakan dengan sengaja mencoba untuk melupakan tradisional pentatonic yang dianggap ketinggalan jaman.

Mencoba untuk melawan arus, mungkin itulah kata-kata tepat ditujukan kepada sosok Mantra, yang mencoba menyalurkan kegelisahannya dengan mendirikan Suaramantra pada medio 2004, hadir sebagai sebuah respon dari kegelisahan, Mantra mencoba untuk mengembangkan berbagai elemen  tradisional baik secara fisik berupa alat musik tradisional, maupun non fisik berbentuk Kidung , wacana sastra dalam lontar , maupun nyanyian anak-anak yang merupakan local genius warisan nenek moyang.

Dengan background sebagai seorang perupa, Mantra dengan Suaramantra-nya mencoba menggores sebuah kanvas tabelature dengan warna-warna nada tradisional, dan dikombinasikan dengan warna modern, karena menurut Mantra, nada-nada itu sendiri mempunyai warna dan karakter tersendiri. Nada adalah sebuah bahasa visual, dan bila para audience mendengarkan, sejenak memejamkan mata dan menikmati alunan komposisi Suaramantra, ledakan imajinasi dalam benak akan memvisualisasikan berbagai macam warna dan rasa tersendiri, berkeliaran secara liar di dalam otak, tapi terasa begitu menenangkan, karena terdengar begitu bening, sebening air yang mengalir, walau dalam beberapa komposisi terasa riak jeram menghadang. Seluruh karya dalam album-album Suara Mantra merupakan sebuah perjalanan ‘Healing’, yang juga berarti sebuah terapi bagi seluruh personil Suara Mantra yang terdiri dari Omink selaku Frontgirl atau lead vocal, Mantra selain sebagai lead vocal, juga bergelut dibalik dawai gitar dan seperangkat synthesizer. Tidak ketinggalan Krisna Braja dengan raungan gitarnya. Pembetot Bass dipercayakan kepada sosok Dipa Sugriwa, yang mencoba bersinergis dengan Degoh sang penabuh gendang serta Putu pemain Gender dan juga penabuh gendang.

Penggunaan beberapa material tradisi dalam pembentukkan karya mereka, diharapkan dapat hadir sebagai alternative konten bagi generasi muda, dan untuk merangsang terciptanya karya-karya kontemplasi. Kolaborasi unsur music modern dengan unsur music tradisi ini juga diharapkan dapat menumbuh kembangkan rasa cinta kepada nilai-nilai budaya yang selama ini terdesak oleh perkembangan dunia, yang sedikit memarjinalkan keberadaan nilai-nilai tradisi dan budaya.

Hidup adalah sebuah proses. Dan dalam berproses menghasilkan karya, tentulah ada perbedaan, hanya saja perbedaan tersebut berhasil dilebur, disinergiskan dalam satu nada, dan mampu menciptakan sebuah harmoni yang terangkum dalam komposisi-komposisi yang dihasilkan. Sejak terlahir pada medio 2004 Suaramantra sendiri telah menghasilkan 3 album indie. Sebuah pepatah bijak mengatakan, bila ingin belajar music, ikutilah semua aturan yang berlaku, akan tetapi bila ingin menciptakan music, dobraklah semua aturan tersebut. Sebuah karya pembrontakan yang didasari oleh sebuah kesederhanaan dalam menyikapi hidup telah tercipta. Tak hanya berbentuk sebagai bayi immortal yang berkeliaran dalam benak, tapi kini terlahir mengirup udara di bumi, yang diharapkan mampu membakar ruang dan waktu dengan cinta, kecintaan akan budaya dan tradisi yang dimiliki selama ini. Suaramantra pun berkeinginan untuk tetap eksis dan lebih mewarnai lagi kanvas music Indonesia dengan warna mereka sendiri.

(written by : dedyaryo@yahoo.co.id)